Qurban tak hanya menyembelih hewan, tapi juga ‘memotong jarak’ ketimpangan social
Idul Adha sering dilihat sebagai ritual semata, padahal ia adalah gerakan sosial-ekonomi dengan kekuatan sangat besar. Jika ini bisa diorganisir dengan baik, hasilnya akan benar-benar berdampak secara signifikan.
Pertama, rantai ekonomi yang menghidupkan peternak.
Menjelang Idul Adha, permintaan ternak melonjak. Data Asosiasi Produsen Daging Indonesia (APDI, 2023) menunjukkan, 60% peternak kecil mengantungkan 40-50% pendapatan tahunannya pada penjualan hewan kurban.
Kedua, memberdayakan pekerja.
Proses kurban melibatkan jaringan ekonomi informal – mulai dari tukang angkut, jagal, hingga pedagang bumbu. Di Jakarta saja, Dinas Tenaga Kerja (2022) mencatat tambahan 15.000 lapangan kerja musiman selama periode kurban.
Ketiga, pengurangan kesenjangan sosial.
Distribusi daging kurban adalah mekanisme redistribusi kekayaan paling efektif.
Data Unik: Laporan BAZNAS (2022) menemukan, 1 ekor sapi kurban di NTT bisa menjangkau 120 keluarga – 3x lebih banyak daripada di Jawa karena pola distribusi yang terencana.
Keempat, inovasi sosial yang tumbuh.
Masyarakat mulai sadar bahwa kurban bisa lebih dari sekadar pembagian daging. Kurban juga mengembangkan sistem penyimpanan daging beku untuk kebutuhan gizi jangka panjang anak stunting.
Dengan demikian kita bisa melihat langsung bagaimana kurban menjadi contoh nyata ekonomi berkeadilan, dampaknya bisa lebih sistemik: mengurangi stunting, mengentaskan kemiskinan peternak, dan bahkan menciptakan lapangan kerja.